Selasa, 21 Juni 2011


Senin, 20 Juni 2011

HILANG SLAMANYA

Termenung naia mengingat ‘dia’, cinta pertama yang sangat berarti dalam cerita hidupnya. Namun telah dua setengah tahun lamanya mereka berpisah dan tak bertemu. Bukan karena mereka pisah dengan keributan, yang biasa terjadi dalam setiap hubungan berpacaran remaja sekarang. Jaraklah yang memaksa mereka tak bertemu lagi setelah perpisahan itu, ‘dia’ sekolah di luar kota, dan mungkin sebulan sekali kembali ke kota naia. Tentu bukan berarti naia dapat bertemu kembali dengan ‘dia’. Dan suatu saat di mana takdir mempertemukan naia dan darent kembali.



Duh, kenapa ya perasaan aku ga tenang, kenapa jadi gemetaran gini. Apa darent? Batin naia dalam hati saat berada di angkutan umum menuju tempat bimbelnya. Yah, darent adalah ‘dia’ yang di maksud naia. Dan tanpa di duga saat ia turun dari angkutan yang ia naiki, seseorang memanggil namanya dalam ramainya jalanan siang itu. Reflek saja ia menoleh sumber suara.

“Nai ! mau kemana? Ayo bareng !” teriak om Neo dari dalam mobil taruna berwarna merah tua itu. Naia sadar itu om Neo, dan mobil’a yang sering di bawa darent saat dua setengah tahun lalu.

“Oh, ga usahlah, makasih om.” Ucap naia sopan. Langsung saja ia beranjak pergi meninggalkan om neo, untuk bergegas ke tempat bimbelnya.

Sore pun tiba, di mana naia baru saja sampai rumah dari bimbelnya tadi. Baru sebentar saja ia membaringkan tubuhnya di kasur, tiba-tiba handphone naia berbunyi. Ia tak kenal nomor itu, dengan ragu ia menjawabnya.

-***-

Naia asik mencari pernak-pernik bersama alex, sahabatnya yang bisa di bilang si tomboy cantik. Yah, alex itu memang cantik seandainya dia bergaya layaknya seorang cewe.

“Eh, al. Coba kamu sekali-kali pake baju yang bener donk”. Ucap naia pada alex.

“Segini dah pake kaos sama jins andalan gw, masih di bilang ga bener?” jawab alex sembari menunjukan gaya khasnya, mengedipkan satu matanya. Yah mau di kata apa lagi, itulah alex. Merekapun turun menuju eskalator di mol itu. Lagi-lagi perasan yang sama seperti saat bertemu om neo waktu itu, kenapa ini? Tanya naia dalam hatinya, dan tiba-tiba saja ia teringat akan darent. Ia berusaha untuk tidak peduli, tapi di depan toko kaset yang ingin naia dan alex masuki, langsung saja seseorang menarik lengan naia yang kecil. Ia kaget sekali dan menoleh.

“Nai !” Sapa seorang cowo yang sangat naia kenal, namun naia tak dapat berkata. Sungguh betapa besar pebgorbanannya selama ini mencari darent, kini darent di hadapannya dan menggenggam erat lengan naia.

“Nai, kenapa seminggu yang lalu kamu bilang gamau ketemu aku?” tanya darent langsung ke pokok pembicaraan.

“Maap.” Hanya seuntai kata itulah yang akhirnya keluar dari bibir naia, sesaat setelah terdiam atas ketidakpercayaannya, kemudian berusaha pergi dari tempat itu. Darent mengerti suasana seperti ini, mungkin naia tak ingin lagi bertemu dengannya, atas kesalahan ia yang tidak menghubungi naia selama bertahun-tahun. Naia pun menghilang dari pandangan darent keluar entah kemana.

“Udah nai, maapin dia. Lo sadar ga itu darent yang selama ini lo pikirin?” Ucap alex berusaha menenangkan, ia tahu sahabatnya itu sedang gundah. Ia mengerti naia sebetulnya ingin bertemu, namun naia ingin belajar melupakannya.

“Ga bisa! Seminggu lalu dia nelfon dan mau ketemu. Tapi aku tolak, karena dia bilang mungkin kita ga bisa kaya dulu lagi.” Jawab naia, yang gemetaran tak sanggup mengingat darent kembali. Hampir saja ia menangis. Alex pun hanya ber ‘oh saja, dan mengantar naia pulang.

-***-

Sungguh liburan yang kurang menyenangkan bagi naia. Padahal sudah seminggu lalu kejadian bertemu darent itu berlangsung, dan sampai kemarin pula terakhir darent kembali namun tak di anggap oleh naia. Ia fikir semuanya sia-sia, liburan 2 minggu ini membuat naia lelah, tapi minggu depan sekolah sudah kembali aktif, dan memaksa naia harus cepat memuaskan diri dengan jalan-jalan atau wisata kuliner. Seperti biasa bersama alex, karena selalu saja dia yang punya waktu untuk naia. Memang sahabat terbaik bagi naia, selalu ada saat butuh, sedih, dan bahagia bersama. Mereka keliling kota untuk menemukan hal baru dan seru. Tak lupa wisata kuliner di saat perut sudah memanggil, mereka pun asik berfoto-foto, seolah tak ada beban yang di pikirkan naia.

Tapi tiba-tiba saja hati naia sakit sekali, sepertinya sesak. Alex yang khawatir menuntun naia duduk di warung bawah pohon di atas trotoar, yang berada tepat di belakang mereka berdiri saat ini.

“Ada apa nai?” tanya alex khawatir.

“Gatau al, dada ku sesak banget, sakit.” Rintih naia, padahal seingat dia, tak punya penyakit hati atau asma sekalipun. Saat itu pula ibu darent yaitu tante gina menghubungi naia.

“Halo, ada apa tante?” ucap naia sopan.

“Nai, tolong segera ke rumah tante ya! Secepat mungkin.” Jawab tante gina yang terdengar sedih. Setelah menutup telfon, langsung naia melesat cepat ke rumah darent yang tak jauh dari rumahnya dengan motor matik alex. Sesampainya di rumah, terlihat sepi. Hanya ada tante gina dan om Neo yang sedang menangis.

“Om, tante, ada apa sebenarnya?” tanya naia yang sangat khawatir. Tante gina pun menjelaskannya, dan memberi sepucuk surat. Perlahan naia membukanya yang sudah meneteskan air mata.

To: naia
Maapin aku yang ga bisa jadi sempurna untuk kamu. Aku tau kamu benci sama aku, tapi maafkan aku. Aku mengatakan kita tak bisa bersama karena aku sakit, penyakit yang dapat merenggut jiwaku, aku ga bisa menjaga kamu seperti dulu, nai. Dan kini mungkin aku udah di alam ku sendiri, namun aku akan selalu menyayangimu. Waktu itu, aku ingin mengatakan bahwa waktuku ga lama lagi, tapi kamu pergi begitu saja. Aku mengerti. Dan aku pun pergi dari kehidupan kamu. Aku udah tenang ko, karena aku tau kamu masih sayang aku.
Kamu adalah yang pertama dan terakhir untuk aku, terimakasih.
Tak sanggup menahan sakitnya, naia terduduk di bawah kaki tante gina. Alex dan om Neo pun berusaha menenangkannya. Yah, kemarin adalah saat terakhir darent berada di hadapannya, ia telah pergi. Naia sungguh menyesal, penyesalan yang kedua kalinya. Sungguh bodoh sekali ia, darent membutuhkannya tapi naia malah meninggalkannya. Terus saja naia menyalahkan dirinya. Ia sayang pada darent, dia cinta pertama, yang mengenalkan arti cinta sejati padanya. Ia kesal pada dirinya, dan mengingat betapa sebenarnya yang di lakukan darent itu sangat tulus .

Apa daya, semua telah terjadi. Setiap minggu naia selalu berkunjung ke makam darent, ia berjanji untuk bisa menjadi yang lebih baik, dan tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Karena ia telah belajar dari semuanya.

Janganlah kita menyia-nyiakan seseorang yang berusaha tulus pada kita. Sebelum kita tau apa sebenarnya maksud dia, dan hargailah perasan seseorang baik itu orang tua, keluarga, teman, sahabat, pacar, bahkan orang lain sekalipun. Karena suatu perjuangan akan sia-sia untuk kita yang tak bisa menerimanya.

HARI TERAKHIR

Cerpen Cinta Pagi yang indah, awal tuk lakukan semua aktifitas. Tapi tidak dengan Maya. Gadis 20 tahun itu masih betah di kamar. Mengambil kesimpulan dari masalah yang ada didepannya.
”Apa aku bukan anak kandung ibu ya May?”
Sejenak kalimat itu terlintas dipikirannya. Kalimat itu dilontarkan oleh Nanda, kakak yang selama ini lebih tepat disebut sebagai anak angkat dalam keluarganya. Padahal dia adalah anak pertama di keluarga ini. Nanda begitu terpukul saat ibu berkata bahwa dia hanyalah anak pembawa sial. Maya sempat berfikir, begitu tega kata-kata itu keluar untuk orang yang selama ini selalu berbagi dengannya. Katakanlah walau seorang ibu yang mengatakan, tapi Maya yakin itu adalah hal yang menyakitkan untuk seorang kakak yang rela menerima lamaran lelaki yang sama sekali tak dicintainya. Nanda melakukan itu karena dia tak ingin mengecewakan perasaan sang ibu.
Beberapa bulan yang lalu Nanda mengalami istihadhoh. Ini terjadi karena Nanda pernah akan diperkosa seseorang yang menjadi tangan kanan ayahnya. Sampai akhirnya lelaki itu diusir dari rumah setelah Nanda menceritakan semua. Awalnya Nanda tak berani buka mulut, tapi karena penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, tak ada cara lain selain mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Itupun tak semua orang tau, dalam keluarganya, hanya ayah dan Maya yang Nanda beritahu. Nanda tak berani mengatakan hal ini kepada ibu. Kendatipun ia depresi, tapi mengatakan hal yang sejujurnya pada ibunya hanya akam memperburuk suasana.
Setelah sekitar 4 bulan Nanda dirawat, namun penyakitnya belum sembuh. Semua perkakas rumah dan barang-barang berharga terpaksa dijual untuk menebus biaya rumah sakit. Sampai akhirnya cincin perkawinan ayah dan ibu terpaksa dijual. Hal inilah yang membuat ibu berkata bahwa Nanda hanyalah pembawa sial. Begitu ku pahami bagaimana perasaan kak Nanda. Dia begitu kecewa. Tapi apalah daya jika seorang ibu mengatakan demikian terhadap darah dagingnya sendiri. Nanda hanya bisa pasrah dan berusaha tegar menghadapi cobaan ini.
Maya tersadar dari lamunannya, ia melihat jam dinding.
Astaghfirulloh, udah jam 6, uuuuuh…bisa-bisanya aku nglamun, Ya Alloh semoga semua ini cepat berakhir,” Maya bergegas keluar kamar.

Seperti biasa, tiap pagi Maya harus melakukan tugas rumah. Saat Maya tengah menyapu lantai di ruang tamu, tiba-tiba…
”PRANGGGG!!!”.
Maya mempercepat langkahnya menuju ke dapur, dilihatnya Nanda tengah kesakitan sambil memegang kepalanya yang kemudian pingsan.
”Kak, Kak Nanda kenapa? Ayah, kak Nanda pingsan!!!”
Ayah yang semula sedang menjahit baju segera ke dapur. Dilihatnya anak pertamanya itu tak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang ayah segera memanggil tukang becak yang biasanya mangkal di deoan rumah dan langsung membawa Nanda ke rumah sakit dekat rumahnya.
 Setelah diperiksa, aku dan ayah dipanggil dokter.
”Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya ayah.
Maya tampak cemas menunggu keputusan dokter. Dokter bertanya apakah kejadian ini pernah terjadi sebelumnya. Aku dan ayah saling berpandangan dan langsung menggelengkan kepala. Dokter menghela nafas.
”Anak anda terkena kanker otak stadium akhir”.
Ayah dan Maya tercengang menangkap perkataan dokter.
”Apa??? Dokter saya mohon anda jangan bercanda. Ayah, katakan kalau dokter ini bohong.” Maya menangis di pelukan sang ayah.
”Kemungkinan anak bapak hidup hanya dua bulan lagi.” Dokter menimpali.
Dua bulan lagi!!!! Ya Alloh, dua bulan lagi adalah pernikahan kak Nanda. Ini nggak mungkin!!!
Beberapa menit kemudian, Nanda tersadar. Dokter mengizinkan Nanda tidak dirawat di rumah sakit sesuai permintaan ayahnya. Mengingat biaya rumah sakit yang begitu membumbung tinggi. Ayah meminta agar Nanda dirawat di rumah saja. Sepuluh menit kemudian Maya menuju becak yang ditumpangi kakak dan ayahnya sambil membawa obat dari apotek.
”Yah, Maya jalan kaki aja.”
Belum sempat berkata apa-apa, Maya berlari meninggalkan ayah dan kakaknya. Sesampai di rumah, Maya segera merapikan kamar kakaknya.
Saat Maya menemani Nanda di kamarnya, ayah memanggilnya untuk membicarakan tentang penyakit Nanda.
”May, ayah mohon jangan sampai kakakmu tau tentang hal ini.” Pinta ayah.
”Maya setuju kalau kak Nanda tidak boleh tau tentang hal ini, tapi ibu harus tau. Tapi bagaimana kita memberitahu ibu tentang hal ini, Yah? Lalu kak Fahri?” Maya Nampak bingung.
Ayah nampak berpikir, tapi tak ada jawaban. Beliau berpikir kapan waktu yang tepat membicarakan ini, sementara ibu hanya akan pulang menjelang hari pernikahan Nanda. Dan itu berarti… Masih adakah kesempatan??? Sementara Fahri yang sedang ke luar kota mengurus pekerjaannya juga akan pulang dalam waktu dekat menjelang pernikahannya. Hati ayah semakin tak menentu.
Keesokan harinya, Nanda tengah memandang secarik kertas undangan pernikahan. Disana tertulis Ananda Naila Rahma dengan Muhammad Fahri. Tiba-tiba air matanya menetes di kertas itu.
”Kakak kenapa nangis?” Tanya Maya yang kemudian duduk di depannya. Nanda memeluk Maya.
”Maafin kakak May, kakak tau kamu pasti terluka dengan ini semua. Fahri adalah satu-satunya lelaki yang kamu cintai, tapi…” Isak Nanda terhenti saat Maya melepas pelukannya.
”Sudahlah kak, Maya ikhlas, lagipula kak Fahri cinta sama kak Nanda bukan Maya.” jelas Maya yang membuat Nanda terharu.
”Tapi kakak nggak cinta sama Fahri, ini semua demi ibu.” Kata Nanda.
Maya mengusap air mata kakaknya dan berkata.
”Kak, Maya yakin suatu saat nanti kakak akan mencintai kak Fahri.” Tapi kata-kata itu hanya bualan semata saat Maya ingat bahwa umur kakaknya takkan lama lagi.

***
Hari itu hari Senin, pukul 8 pagi Maya pamit pada ayah dan kakaknya.
”Yah, Kak, Maya berangkat kerja dulu ya? Sebagian undangannya biar Maya yang kasih ke teman-teman kakak.” Kata Maya sambil mencium tangan kedua orang yang dicintainya. Tapi sayang, ibu tak ada di rumah.
Maya maupun Nanda jarang bertemu dengan ibu mereka. Ibu bekerja menjadi pembantu rumah tangga di desa sebelah. Bisa jadi sebulan sekali baru pulang. Ayah menghidupi keluarganya dengan bekerja menjadi penjahit dibantu oleh Nanda. Sedangkan Maya bekerja sebagai kasir di sebuah supermarket. Kendati demikian, kebutuhan mereka kerap kekurangan. Tapi mereka bersyukur atas segala rizki yang Alloh berikan.
Sore harinya, tak disangka ibu pulang untuk sekedar menjenguk keluarganya.
”Ayah sama Maya kemana?” Tanya ibu saat sampai di rumah.
Nanda yang tau kedatangan ibunya langsung mencium tangan beliau.
”Ayah belanja keperluan jahit bu, kalau Maya belum pulang. Ibu pasti capek, Nanda buatin minuman ya? Ibu mau teh atau…”
Belum sempat Nanda bicara, Ibu berkata, ”Tidak usah, ibu buru-buru, tolong sampaikan kalau ibu pulang lagi bulan depan, pas kamu mau nikah.”
Belum sempat Nanda bertanya kenapa, ibu sudah pergi. Nanda tertegun, terlintas di benaknya, begitu tak berharganya aku di depan ibuku, hingga aku di sampingnya pun dia merasa risih. Tapi pikiran itu cepat-cepat dia buang, dengan cepat dia berpikir positif, ahhh mungkin ibu memang lagi sibuk, jadi nggak sempat istirahat.

Nanda menceritakan kedatangan ibu yang mendadak pada ayah dan Maya ketika mereka pulang. Tampak kekecewaan keluar dari raut wajah Maya, terlebih lagi ayah. Tapi syukurlah, Nanda tak mengetahui hal itu, karena ayah dan Maya tak ingin Nanda curiga.

***
Dua minggu berikutnya, Nanda kembali pingsan, penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah kanker otak Nanda yang semakin parah. Ayah dan Maya pun segera mengantarnya ke rumah sakit. Sampai disana dokter bertanya apakah selama ini obat Nanda tidak diminum.
”Setahu saya obat itu selalu diminum dok, berkali-kali kak Nanda bertanya itu obat apa, tapi saya hanya bilang kalau itu hanya vitamin supaya kak Nanda nggak gampang sakit.” Jelas Maya
 ”Tampaknya penyakit anak anda semakin parah pak? Kami menyarankan agar anak anda menjalani kemoterapy.” Papar dokter.
Ayah dan Maya tak bisa berbuat apa-apa, bahkan mereka tak bisa berkata apa-apa. Darimana mereka mendapat uang untuk biaya terapi Nanda?
Belum sempat berpikir lebih jauh, terdengar suara Nanda memanggil ayah dan Maya. Ternyata di balik tirai, Nanda mendengar semua perkataan dokter, ayah, dan Maya.
”Maafin ayah dan Maya ya kak? Kita nggak mau kak Nanda sedih gara-gara ini, tapi kita akan berusaha mencari uang untuk terapi kak Nanda nanti.”, terang Maya diikuti anggukan sang ayah.
Nanda tersenyum melihat mereka berdua, tanpa berekspresi dia menceritakan tentang penyakitnya itu. Ternyata sudah sejak 2 bulan yang lalu dia sering merasakan pusing, tapi kejadian itu tak pernah dia hiraukan. Mungkin itu hanya penyakit biasa. Nanda minta maaf atas ditutupinya hal ini kepada keluarganya. Tapi Nanda tak rela uang hasil kerja keras ayah dan adiknya habis untuk dia berobat kalau Nanda memberitahukan hal ini. Terlebih kalau ibunya tau, Nanda semakin takut ibunya akan  semakin menaruh kebencian padanya. Tapi sungguh Maya kagum terhadap kakaknya, begitupun ayah. Jujur dalam lubuk hatinya, Nanda samasekali tak pernah menyesali ini semua. Semua manusia itu diciptakan oleh Alloh, dan pada-Nya juga mereka akan kembali. Hanya itu yang dipegang teguh oleh Nanda.
”Yah, Nanda nggak perlu menjalani terapi itu, Nanda nggak mau rambut Nanda habis, bukankah rambut adalah mahkota wanita, Nanda ingin suami Nanda kelak bisa membelai rambut Nanda.” Ucap Nanda lirih.
Maya menangis mendengar ucapan penuh makna itu dan memeluk kakaknya yang masih terbaring lemah.
”Kita semua sayang sama kak Nanda, ya kan ayah?”, kata Maya.
Ayah mengangguk tersenyum diikuti air mata haru.
”Yah, Nanda mohon jangan sampai ibu tau tentang penyakit Nanda, Nanda nggak mau ibu semakin membenci Nanda. Jangan sampai Fahri juga tau tentang hal ini, Nanda nggak mau membuatnya susah.” Tangis Nanda pecah saat pelukan sang ayah mendekapnya.
”Iya, ayah janji putriku.”

***
Menjelang 1 minggu pernikahan Nanda, suasana rumah mungil itu tampak sibuk. Tapi canda tawa tak pernah hilang di kediaman rumah itu.
”Oya kak, hari ini Maya gajian, kak Nanda pengen dibeliin apa? Nanti Maya bawain.”, kata Maya.
”Nggak usah May, uangnya dikumpulin aja, buat nikah kamu nanti.”, jawab Nanda.
Entah mengapa Maya menangkap perkataan Nanda penuh keheranan, yang pasti tak ada kata gurauan dalam ucapan Nanda.
”Yang mau nikah kan Nanda bukan aku, kenapa jadi gini?” Pikir Maya.

Sehari sebelum akad nikah, ibu pulang untuk mempersiapkan pernikahan Nanda. Ibu membawa berbagai makanan dari majikannya sebagai kado istimewa yang diberikan kepada orang yang selama ini telah membantu mereka mengurus rumah.
”May, Nanda mana? Kok cuma kamu yang beres-beres? Yang mau nikah kan dia?” protes ibu.
”Kak Nanda lagi istirahat bu, dari kemarin malah kakak yang mempersiapkan semuanya.” Maya terpaksa berbohong. Dia nggak mau ibu tau tentang apa yang terjadi selama ini.
”Oh ya baguslah, bilang sama kakakmu suruh istirahat, nanti dia kecapekan.” Pinta ibu dibarengi anggukan Maya.
Belum sempat Maya bicara, Nanda tersenyum haru.
”May, benarkah tadi ibu bilang seperti itu? Alhamdulillah…” senyum Nanda merekah saat Maya menggangguk pasti.
”Iya kak, sekarang kak Nanda istirahat ya? Biar besok bisa lancar.” Nanda mengangguk pelan.

Jam 8 pagi akad nikah akan dimulai, Nanda terlihat cantik memakai jubah warna biru kesukaannya. Jilbabnya pun telah dihias aneka warna bunga segar, siapa lagi yang menghias kalau bukan sang adik. Nanda menolak untuk dirias oleh perias. Alasannya itu hanya akan menghambur-hamburkan uang.
Jam 8 lebih 5 menit mobil yang dikendarai Fahri tiba.
”Kak, Maya bangga sama kakak.” Kata Maya saat Nanda duduk di depan meja.
”Kakak juga bangga punya adik sehebat kamu May.”
Buru-buru Maya menyodorkan tisu saat air mata Nanda hampir menetes.
”Ups kakak, nggak boleh sedih lagi, ini hari bahagia kita semua kak.”
Keduanya lalu tersenyum.

Tepat saat Fahri duduk di sebelah Nanda dan bersiap untuk melaksanakan akad nikah, seketika itu pula Nanda memegang kepalanya, rasa sakit yang begitu menusuk syaraf itu kembali dia rasakan. Selang beberapa detik, diawali teriakan Nanda, dia pun pingsan. Secepat kilat Nanda dibawa ke ruang ICU.

”May, Nanda kenapa? Cerita nak, nggak mungkin dia masuk ICU kalau tidak ada yang kamu sembunyikan sama ibu.”
Maya hanya menangis, terisak tak berdaya menatap wajah ibunya, ibu yang selama ini sangat dicintainya dan juga kakaknya.
”Nanda mengidap kanker otak stadium akhir.” Kata ayah yang berdiri dibelakang ibu dan juga Fahri.
Ibu dan Fahri lemah lunglai mendengar ucapan ayah, mereka tak percaya apa yang terjadi pada Nanda.
”Kenapa kalian tidak memberitahu ibu?” teriak ibu histeris.
”Kak Nanda yang minta semua ini, bu, kakak nggak mau ibu semakin benci sama kakak.” Jawab Maya masih dengan deraian air mata.
Kali ini ayah angkat bicara,
”Lihatlah anakmu, dia rela menyimpan rasa sakitnya untuk orang yang selama ini tak pernah mempedulikannya. Dia rela menanggung rasa sakinya itu sendiri. Padahal jikalau ada belaian seorang ibu, tentu Nanda bisa menikmati masa-masa terakhirnya tanpa setragis ini.”
Ibu tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa pasrah melihat Nanda terbaring lemah.
Di ujung koridor tampak sosok Fahri yang terdiam. Dia ingin marah, tapi untuk apa dia marah? Toh semuanya sudah terlambat.
Maya mendekati Fahri.
”Kak Fahri, maafin Maya kak, kak Nanda bilang kalau kak Fahri nggak boleh tahu tentang masalah ini, kak Nanda…”
Kata-kata Maya terhenti saat Fahri menatap matanya. Jantung Maya berdegup hebat.
”Maya, aku nggak nyalahin kamu, bapak, maupun ibu. Ini semua terjadi karena kehendak-Nya, mungkin Nanda memang tak ingin menyusahkan aku. Aku sadar, selama ini tak ada cinta Nanda sedikitpun untukku. Dia cuma mengikuti perintah ibumu untuk menikah denganku. Itulah yang aku suka dari dia, dia tidak pernah mementingkan kehidupannya sendiri, dia lebih memilih membahagiakan ibunya walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri.”
Maya tersenyum dan bergumam ”seandainya kamu tahu bahwa akulah yang selama ini memendam cinta untukmu, dan akulah yang lebih banyak mengorbankan perasaanku. Tapi sudahlah, aku akan melupakan semuanya.”
Sesaat kemudian terdengar suara teriakan ibu yang histeris saat mendengar ucapan dokter bahwa Nanda sudah dipanggil oleh-Nya. Seketika itu Maya dan Fahri berlari menuju ruang ICU.
”May, kak Nanda sudah pergi.” Kata ibu diselingi tangisannya.
Maya ternganga, terdiam kaku melihat kakaknya yang masih berbalut jubah kesayangannya. Dalam hitungan detik akhirnya dia bisa berteriak,
”Kak Nandaaaaaaaaaaa…”
Maya memeluk jasad kakaknya dengan penuh penyesalan.
”Kak, kenapa kakak pergi secepat ini? Kenapa kakak ninggalin kita semua kak?”
Maya meraih tangan Nanda seolah-olah dia ingin menarik Nanda dari malaikat maut yang menjemput kakaknya. Tapi niat itu segera dilenyapkan oleh Fahri. Secepat kilat dia menarik tangan Maya dan meletakkan kepala Maya di bahunya. Isak tangis Maya pecah ketika terdengar Fahri berbisik,
”Ikhlaskan semua, ada hal yang lebih indah dibalik ini semua. Bukan hanya kamu yang kehilangak Nanda, tapi aku juga. Hanya doa yang diharapkan Nanda dari kita May.”
Maya hanya bisa pasrah.
Tampak disampingnya adalah seorang ibu yang terisak diiringi berjuta penyesalan.
Maya mendekati ibunya.
”Bu, kak Nanda sangat mencintai ibu, dan kak Nanda pasti akan sangat membenci dirinya sendiri kalau dia tau bahwa kepergiannya hanya membuat air mata ibunya terkuras habis.”
Kata-kata Maya membuat ibunya bertambah menyesal.
”Iya May, ibu ikhlas.”
Maya, Fahri, dan ayah tersenyum.

Setelah selesai acara pemakaman Nanda, mereka semua pulang. Tiba-tiba terdengar suara teriakan disertai jeritan histeris dari arah kamar belakang. Kontan Maya dan ayah segera menuju tempat itu yang tak lain adalah bekas kamar Nanda. Ibu diam terpaku di depan pintu kamar itu sesekali menjerit sambil mengucapkan ”Aku adalah orang yang paling jahat sedunia.”
Dari jauh, ayah dan Maya yang melihat kejadian itu hanya bisa beristighfar.
”May, ayah tidak tega melihat ibu seperti itu, kendati pun kita tahu dia bersalah, tapi ayah rasa ibumu sudah menyesalinya.” Kata ayah meninggalkan Maya dan menghampiri istrinya.
 Maya mengikuti ayahnya, tapi dia tak berucap sepatah kata pun. Hatinya semakin sakit melihat ibunya yang terkesan depresi. Dia menjerit dalam hati,
”Kenapa ibu baru sadar saat kak Nanda udah pergi?????”

”Bu, istighfar, relakan kepergian Nanda. Jangan tangisi dia, karena itu akan semakin menyakitkan buat anak kita.” Kata ayah
Ibu kembali histeris, beliau meminta maaf pada ayah.
”Yah, maafkan ibu. Selama ini ibu bukan ibu yang baik untuk Nanda, ibu adalah manusia terjahat yang tak pantas mendapatkan maaf.”
”Ayah bukan siapa-siapa disini, minta maaflah kepada Alloh. Dia Yang Maha Pemaaf. Lebih baik kita sholat. Meminta petunjuk terhadap segala sesuatu yang telah ditakdirkan pada kita, dan yang terpenting, kirimkan doa untuk Nanda” ajak ayah kemudian.

Sehari, dua hari, tiga hari, kondisi ibu semakin memprihatinkan. Beliau tidak mau makan, kesehariannya hanya diam, merenung, menangis, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semua perkataan Maya dan ayah hanya ditanggapi dengan anggukan dan gelengan.
Malamnya, ibu berkata pada ayah.
”Yah, nanti malam ibu mau tidur di kamar Nanda. Ibu kangen.”
Sambil menghela nafas ayah tersenyum dan berkata,
”Lakukan apa yang ingin ibu lakukan, setidaknya untuk meringankan beban ibu.”

Pukul 9 malam, ibu berhenti di depan pintu kamar Nanda, beliau ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu.
”Jangan masuk kamarku!” teriak Nanda
Seketika itu ibu sadar akan halusinasinya. Perlahan beliau melangkah mundur ketakutan.
Maya yang sedari tadi mengawasi ibunya tersontak kaget.
”Kenapa Bu? Biar Maya temenin ya?” ucap Maya sambil meneteskan air mata. Dia begitu mengkhawatirkan kondisi ibunya.
Tapi dengan tegas ibu menjawab,
”Tidak! Sebaiknya kamu tinggalkan ibu sendiri disini.”
Maya tak berani membantah apa kata ibunya, dia pamit pada ibunya. Sejurus kemudian dia berjalan kearah berlawanan dan bersembunyi di balik lemari es.
Seakan tahu keberadaan Maya yang masih mengawasinya, ibu berkata,
”Menjauhlah, atau ibu yang akan menjauh.” Maya lari terbirit-birit sambil sesenggukan.
”Biarkan ibumu sendiri dulu May, lebih baik kita disini sambil menunggunya terlelap.” Kata ayah.
Di kamar Nanda, perlahan ibu menutup dan mengunci pintu kamar itu. Dilihatnya perabot kamar Nanda yang rapi penuh warna putih. Ibu ingat saat Nanda kecil, dia begitu menyukai warna putih. Saat ibu bertanya kenapa, dia menjawab
”Ibuku sayang, putih itu suci, sesuci cinta Nanda pada Ibu.”
Air mata ibu menetes, sakit sekali saat ibu ingat bagaimana perlakuannya selama ini pada anak pertamanya yang begitu mencintainya. Pandangan ibu telah menguasai kamar kecil itu, matanya tertuju pada boneka lumba-lumba berwarna pink. Terlihat warnanya telah memudar, maklum, itu hadiah terakhir yang diberikn ibu pada Nanda di ulang tahunnya yang ke 20 seperti usia Maya sekarang. Tak terasa sudah 5 tahun boneka itu bersarang di ranjang Nanda. Ibu mengusap boneka itu seakan ingin kembali mengingat masa-masa saat beliau mengusap kepala Nanda. Tak lama kemudian mata ibu terlelap saat memeluk boneka kecil itu.

”Pos.”
Ibu tergopoh-gopoh keluar rumah dan mendapati sepucuk surat di depan pagar. Belum sempat mengucapkan terima kasih, tukang pos itu sudah pergi. Ibu membaca nama pengirim surat itu. Nanda. Ibu melonjak kegirangan dan tanpa sadar beliau terjatuh.

Pukul 03.00 dini hari.
”Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi.” Ucap ibu lirih.
Entah mengapa tergerak hati ibu untuk sholat tahajud. Beliau segera mengambil air wudhu. Berjalan ke kamar Nanda dengan mengendap-endap seolah takut kalau ayah dan Maya terbangun. Dua rakaat telah beliau dirikan, dilanjutkan dzikir sembari memegang tasbih milik almarhumah anaknya. Hati ibu teriris kembali, beliau mengadu kepada Sang Khalik, meminta ampun padaNya atas semua dosa-dosanya, juga atas kesalahannya pada Nanda. Namun disisi lain, beliau merasakan indahnya berkhalwat dengan Sang Pencipta.
Maya yang mendengar isak tangis itu segera membangunkan ayah, takut terjadi apa-apa dengan ibunya.
Perlahan-lahan pintu kamar itu terbuka. Ayah dan Maya lega menyaksikan apa yang ada di depan mata mereka. Akhirnya mereka pun ikut sholat disamping ibu. Mereka bertiga menghabiskan sepertiga malam terakhir itu untuk berdzikir bersama sampai subuh tiba. Selesai sholat subuh, mereka bertiga keluar dari kamar. Ibu bergegas mandi, sementara itu ayah membersihkan rumah dan Maya sibuk menyiapkan sarapan pagi. Maya sengaja memasak makanan kesukaan ibunya, semur ayam. Setelah semua siap, mereka pun makan pagi.
Di tengah lahapnya sarapan, tiba-tiba ibu teringat sesuatu. Surat. Ya ibu berharap surat dalam mimpi itu memang benar-benar ada. Beliau meninggalkan meja makan dan bergegas menuju kamar Nanda dan menguncinya. Ayah dan Maya yang mengejarnya hanya bisa cemas menunggu di depan pintu yang terkunci itu. Berulang kali ayah dan Maya memanggil-manggil ibu tapi tak ada jawaban dari dalam. Mereka hanya bisa pasrah menunggu ibunya keluar kamar.
Sementara itu di dalam kamar Nanda, ibu sibuk mencari surat yang beliau mimpikan semalam. Ibu memandangi semua yang ada di kamar itu. Dan ternyata memang benar apa yang ada di dalam mimpi itu. Sesaat kemudian pandangan ibu terarah pada sebuah kertas putih di di dekat foto Nanda. Ibu segera mengambil kertas itu dan membacanya, disitu tertulis ”Untuk Ibuku tercinta”.

Ibu…Maafin Nanda yang selama ini selalu membuat Ibu benci.
Nanda samasekali tak ada maksud membuat Ibu seperti ini.
Ibu…Nanda kangen saat-saat sebelum Nanda sakit beberapa bulan yang lalu.
Ibu begitu sayang, tapi begitu Nanda sakit, entah mengapa Ibu terlihat seperti membenci Nanda?
Bu, mungkin saat ini Nanda sudah pergi jauh, hilang ditelan bumi
Tapi Nanda akan selalu mencintai Ibu seberapapun kebencian Ibu pada Nanda.
Satu hal yang harus Ibu tahu
Selama ini Maya lah yang mencintai Fahri, bukan Nanda.
Begitu lama Maya menyimpan perasaan itu, tapi seketika hancur saar Fahri melamar Nanda, bu.
Nanda tak ingin menyakiti perasaan Maya maupun Ibu, tapi bagaimanapun juga, Nanda menyadari bahwa Nanda harus melakukan ini, karena Nanda sadar, Nanda bisa membahagiakan ibu.
Bu, Nanda ingin melihat Maya mendapatkan cintanya, dia terlalu lemah untuk mempertahankan cintanya ketika ibu menyetujui lamaran Fahri. Biarkan Maya mendapatkan kebahagiaanya, dia rela mengorbankan perasaannya demi Nanda.

            Tetesan air mata Ibu semakin meyakinkan bahwa selama ini kesalahannya bukan hanya terletak pada Nanda, tapi juga Maya. Seketika itu Ibu membuka pintu dan bergegas menuju rumah Fahri.
”Bruk!!!”
”Ya Alloh Ibu, apa yang Ibu lakukan?” terlihat ayah kaget melihat ibu jatuh tersungkur.
”Yah, ibu mau menemui Fahri sekarang juga!”, kata ibu.
”Ada apa lagi Bu?”. Tanpa berkata apa-apa, ibu menyodorkan secarik kertas tadi.
”Darimana ibu mendapat surat ini?” tanpa basa-basi ibu segera menarik tangan ayah dan mengajaknya menemui Fahri.
Maya yang saat itu baru dari kamar mandi lari tergopoh-gopoh dan berteriak,
”Ayah, ibu, mau kemana?” teriakan Maya pun tak mereka hiraukan.

Sesampainya dirumah Fahri.
”Lho, pak, bu ada apa?” Tanya Fahri.
”Lihat ini nak, ini surat dari Nanda.” Jawab ibu sambil memberikan kertas itu pada Fahri.
Fahri tertegun tak percaya saat dia membaca bahwa Maya mencintainya. Dia tau betul bahwa itu adalah tulisan Nanda, sebab sebelumnya Fahri juga mendapatkan surat dari Nanda.
”Pak, bu, saya juga ingin memberitahu sesuatu.”
Fahri masuk ke kamarnya dan keluar dengan membawa secarik kertas putih. ”Ini juga surat dari Nanda, seminggu sebelum dia pergi.”
Tanpa menunggu lama ibu langsung membaca surat yang penuh teka-teki itu.

Fahri…aku takkan pernah bisa mencintaimu seperti dia
Aku takkan pernah bisa menyanjungmu seperi dia
Karena aku adalah sekelopak bunga yang hampir jatuh diterpa angin
Yang perlahan akan rapuh seiring terpaan angin yang takkan pernah berhenti berhembus…

                                                                                      Nanda

            ”Astaghfirulloh, Fahri baru sadar ternyata inilah maksud dari kata-kata Nanda.” Sesal Fahri.
”Selama ini Ibu tidak pernah menyadari bahwa ada perasaan yang tersakiti. Maya adalah calon adik iparmu, tapi justru dia yang memendam perasaan dalam padamu. Seandainya…” kata-kata ibu terhenti.
Semua sudah terlambat, tak ada yang perlu disesali.
Fahri menghela nafas panjang,
”Pak, bu, masih adakah kesempatan Fahri untuk menjadi menantu anda?”
”Maksud kamu?” Tanya bapak.
”Izinkan Fahri melamar Maya.” Kata Fahri
Ayah dan ibu tampak bingung adanya ucapan itu. Selangkah kemudian Fahri melanjutkan perkataannya.
“Fahri telah kehilangan orang yang Fahri cintai, dan sekarang Fahri nggak mau kehilangan orang yang mencintai Fahri.” Pinta Fahri terlihat setulus hati, membuat hati ayah dan ibu seakan luluh.
”Nak, kali ini kami memberikan kebebasan kepada kamu dan Maya. Tanyalah padanya apakah dia masih membuka hatinya untukmu.” Kata-kata ayah terlihat berwibawa, membuat Fahri tersenyum penuh haru.

            Malamnya, tanpa ingin menunda-nunda lagi, Fahri bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Maya.
”Assalamu’alaikum Maya?” salam Fahri saat dia melihat Maya tengah membaca buku di teras.
”Wa’alaikumsalam, kak Fahri, mari silakan masuk.” Kata Maya.
Dia mempersilahkan masuk dan menyalami Fahri sekeluarga dengan sopan.
”Maya panggilkan ibu dulu kak.” Kata Maya diikuti anggukan Fahri.
”Mereka, baik kakak maupun adik benar-benar menjadi idaman mertua.” Bisik ibu Fahri pada Fahri. Fahri semakin menyadari bahwa dia tak mungkin salah mengambil keputusan.
            Tak lama kemudian ayah dan ibu Maya datang.
”Silakan diminum.” Kata Maya pada keluarga Fahri saat menyodorkan segelas teh manis.
”Maya mau kemana?” Tanya Fahri ketika Maya berbalik ingin ke dapur.
”Disini saja, ada sesuatu yang ingin kak Fahri katakan.”
Maya menurut, dia samasekali tak tau apa maksud kedatangan Fahri dan keluarganya. Baik dari pihak Maya maupun pihak Fahri, memberi kebebasan pada Fahri untuk melamar Maya.
Tanpa basa basi Fahri berkata,
”Maukah kamu menikah denganku Maya?”
Maya tercengang menatap Fahri. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ada badai yang sebentar lagi akan menghancurkan tubuhnya. Maya lemas. Dia benar-benar bingung.
”Mungkin Maya kaget dengan semua ini. Tapi justru kak Fahri lah yang seharusnya kaget saat tau bagaimana perasaanmu selama ini.”
Jantung Maya semakin tak karuan. Dia menutup mata, dan membukanya, dia sadar, dia tidak sedang bermimpi, tapi, ”Darimana kak Fahri tau tentang perasaanku?” Gumam Maya.
Fahri memberikan dua surat dari almarhumah kakaknya.
”Benarkah tentang semua ini Maya?” Tanya Fahri.
Maya terisak, terasa bahagia saat Fahri tau tentang perasaanya selama ini. Masih dengan isakan tangisnya, Maya mengangguk. Fahri terlihat lega.
”May, kak Fahri serius dengan semua ini. Ini jujur tanpa ada rekayasa ataupun suruhan siapapun.”
Maya diam.
”Maukah kamu menerima lamaranku?” Ulang Fahri terlihat tegas.
Maya tersenyum dan mengangguk.
”Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?” Tanya ibu Fahri.
Dengan tegas Fahri menjawab,
”Secepatnya!”
            Selang satu minggu, akad nikah dilaksanakan. Tepat pukul 08.00 pagi, terlihat Fahri tengah duduk di depan meja menunggu calon istrinya. Sebelum menuju ruang tamu tempatnya melangsungkan akad nikah, Maya menyempatkan masuk ke kamar Nanda. Dia mengambil foto Nanda.
”Kak, hari ini Maya akan menikah dengan kak Fahri, lelaki yang selama ini aku cintai. Terima kasih atas semuanya kak, Maya akan selalu menjadi adik yang terbaik untuk kakak.”
Maya keluar dari kamar Nanda dan segera menuju ruang tamu.
            Fahri yang melihat kedatangan Maya, tersenyum penuh bahagia.
”Subhanalloh, bidadari hatiku, percepatlah langkahmu untuk bersanding denganku.” Ujar Fahri lirih.
Tak lama kemudian penghulu bertanya apakah semuanya siap. Fahri dan Maya mengangguk.
”Baiklah, saya nikahkan dan kawinkan Muhammad Fahri bin Romdhoni dengan Miftahul Umayah binti Masruri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.”
Dengan lantang Fahri menjawab,
”Saya terima nikah dan kawinya Miftahul Umayah binti Masruri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.”
Terdengar ucapan para warga yang menunjukkan bahwa pernikahan mereka telah sah.
”Alhamdulillah.” Ucap Maya dan Fahri lirih.
            Dari balik tabir terlihat ibu mengusap air mata haru, Maya tersenyum. Dalam hati ibu berbisik, ”Nanda, ibu sudah memenuhi permintaanmu nak.”
            Setelah acara akad nikah selesai, Maya menghampiri Fahri dan berkata,
”Bolehkah aku ziarah ke makam kak Nanda, su…a..mi..ku..?” ucap Maya terlihat kaku.
”Tentu saja istriku, aku akan menemanimu.” Jawab Fahri seraya menggenggam tangan Maya.
Maya tersenyum dan mereka pun berangkat ke makam Nanda.

            Sesampainya disana. Tak ada sepatah katapun dari Maya maupun Fahri. Mereka berdua terlarut dalam khidmatnya doa untuk Nanda. Fahri terlelap dalam dzikir-dzikir pada-Nya. Sesaat dia berbisik lirik,
”Nanda, izinkan aku membahagiakan Maya, mencintai, dan menyayanginya sepenuh jiwa. Aku takkan pernah menyia-nyiakan ketulusannya.”
Fahri mengangkat wajahnya dan menatap Maya.
Di lain hati Maya berbisik,
”Kak, Maya datang bersama Kak Fahri. Maya bahagia, Kak. Maya janji akan selalu menyayangi kak Fahri setulus hati Maya.”
Tanpa terasa tetesan air mata Maya di usap oleh jemari Fahri.
”Hapuslah air matamu istriku, Nanda hanya menginginkan kebahagiaan kita.” Ucap Fahri diiringi senyumnya, senyum yang penuh ketulusan.
Maya tersenyum menatap Fahri. Dia berdoa dalam hati, ”Ya Robbi, terima kasih atas semua karunia-Mu, begitu beruntungnya hamba menjadi istri kak Fahri.”
Seolah tau apa yang ada di benak Maya, Fahri pun berkata,
”Akulah yang lebih beruntung mempunyai istri yang sempurna sepertimu.”
Fahri menarik tangan Maya dan memeluknya. Tak dapat terbendung lagi, air mata keduanya mengalir penuh haru.
Dalam hati Maya kembali berkata,
”Inikah cintaku yang tersembunyi itu? Cinta yang akhirnya tampak di depan kedua mataku? Allohu Akbar…!!!

Minggu, 19 Juni 2011


Memori Dalam Kelopak Bunga Aster

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEianKnYIsYzVc8YUI6Zss7tEibSdpSdQaN0JySZHe6-THaOv5Q-1qPpKX9seoK9QkxKtqrxQ0K7g8VQ2lziD7dyCXVvVTXZcG59RxbSOmaCH5vtBKcy3WRw5AmY6737ckE8a7dLzEPYB704/s1600/cerpen+romantis+Kelopak+bunga+aster.jpg
“Suatu saat kalau aku enggak ada, dan kamu ingin bertemu dengan aku, pandanglah kelopak bunga Aster ini. Kalau kamu ingin menangis, cabuti kelopak bunga ini dan biarkan dia pergi bersama angin. Jangan ada satu air mata pun yang jatuh dari mata kamu!!” 

Kata-kata itu masih dapat teringat jelas didalam memori otak Naya. Ucapan Dira saat mereka masih bersama dulu. Dan hingga kini, dia masih berusaha melakukannya.
Begitu mudah kata-kata itu terlontar. Begitu mudah meyakinkan hati ini untuk melakukannya. Namun sangatlah sulit menjalani semua itu.

Ketika rasa rindu itu memuncak, Naya datang ke Taman Bunga Aster yang selalu dia kunjungi bersama Dira. Taman yang tumbuh banyak bunga Aster dengan berbagai warna. Di pandangnya bunga itu dengan lekat. Saat air memenuhi kelopak matanya, dia mencabuti kelopaknya dan membiarkan kelopak itu terbang bersama angin.

Namun saat itu selalu air mata yang terlebih dahulu jatuh. Rasa sesak memenuhi relung hati dan jiwanya. Memaksa butiran bening jatuh membasahi pipi tanpa sempat terbedung. Tidak bisa rasanya hati dan jiwa menerima kenyataan. Dira telah pergi, tidak untuk kembali. Menyusul Nathan ke dunia baru, dimana tidak ada lagi sakit yang terasa.

Detik demi detik berganti. Siang dan malam datang dan kembali. Tiada terasa 2 tahun lebih Dira pergi. Namun belum juga rasa kehilangan memudar bersama berjalannya waktu.

Izal masih membiarkan bangku disampingnya kosong. Karena hanya ada Dira yang duduk ditempat itu. Yang pantas mengisi bangku kosong disampingnya. 

Anak-anak lain selalu mengingat dan mengenang Dira. Walau hanya sekian waktu mereka mengenal sosoknya. Namun Dira telah menyatu didalam memori otak mereka.
14 Maret selalu menjadi hari berduka disekolah. Dihari itu pihak sekolah mengadakan doa bersama untuk mengenang Dira. Serta berharap Tuhan akan menempatkan Dira ditempat yang terindah.

Dira adalah sosok yang tangguh. Dia adalah pedoman untuk terus berjuang dan semangat. Semangat selama 16 tahun dalam hidupnya telah menunjukkan kalau dia adalah seorang yang istimewa.
***
“Pagi Dira..” Nara menyapa foto Dira yang sengaja dia letakkan dimeja kamarnya. Dia meminta foto itu dari Orang Tua Dira. Karena tidak satupun foto Dira yang dia miliki. Kecuali foto Dira bersamanya dan Nathan saat mereka masih kecil. “Hari ini aku ujian. Doa in ya!! Kalo kamu masih ada, sekarang kita pasti bisa ujian bareng..” Satu tangkai bunga Aster dia letakkan didepan foto Dira.

Naya teringat fotonya bersama Dira dan Nathan. Dia mencari foto itu dikotak yang sengaja dia letakkan dibawah kasur. Dia ingin memajangnya bersama foto Dira.
Saat membuka kotak kayu usang itu, tidak hanya foto mereka bertiga. Banyak benda kenangan disana. Termasuk buku Agenda Biru milik Dira yang belum sempat dia baca.
Sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Naya mengambil buku Agenda itu. Kemudian meletakkannya kedalam tas. Segera dia pergi keluar dari kamarnya.

Seperti hari-hari sebelumnya. Izal sudah siap sedia didepan gerbang pintu rumahnya. Sejak 2 tahun lalu, Izal rutin menjemputnya. Karena dulu Dira pernah mengatakan agar Izal menjaga Naya saat dia tidak ada nanti.
“Pagi cantik. Siap buat Ujian kan?” sapa dan tanya Izal.
“Pasti. Gue udah minta restu sama Dira. Gue target masuk 10 besar. Kan gue pengen masuk sekolah kedokteran..” jawab Naya dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya. 

Naya bertekad menjadi dokter. Menyembuhkan orang-orang yang sakit. Dia tidak ingin melihat orang-orang kehilangan seperti dirinya. Dia ingin menyembuhkan mereka yang senasip dengan Dira. Izal melajukan mobilnya menuju sekolah. Dengan semangat dan harapan yang memayunginya.
***

Naya duduk sendiri ditaman Bunga Aster. Cukup lama dia diam disana. Dengan buku Agenda milik Dira yang masih tertutup rapat. Belum satu lembar pun dibacanya. Hati dan jiwanya masih sesak untuk membaca banyak kenyataan didalam buku itu.
Namun dia tidak bisa terus menghindar. Mau tidak mau dia harus membukanya. Sepahit apapun kenyataan yang akan didapatnya. Karena dari buku Agenda itulah dia dapat mngenal Dira lebih dalam.
Dengan ragu Naya membuka halaman pertama. Hanya ada nama Dira disana. Ditulis dengan huruf yang indah. 

Halaman kedua, tergores beberapa kata diatasnya.

Adilkah Tuhan padaku? Tidak sedikitpun dia berikan kebahagiaan didalam hidupku yang singkat ini. Dapatkan aku merasakan kebahagiaan?
Diusiaku yang baru menghitung hari, Dokter telah memvonis panjangnya umur yang ku miliki. Hanya 17 tahun. Disaat aku membutuhkan kasih sayang dan perhatian orang tuaku, mereka sama sekali tidak menampakkan diri mereka. Adikku membenciku karena menganggap Papa dan Mama lebih menyayangiku. Sejak kecil dia dititipkan dirumah Nenek. Dengan alasan ingin lebih focus merawatku. Namun kenyataannya sangat berbeda. Hanya materi bersama obat, dokter dan rumah sakit yang berkualitas yang kudapatkan.

Halaman ketiga, awal perjumpaan mereka.

Aku bahagia. Akhirnya ku temukan kebahagiaan sesungguhnya. Sebuah keluarga yang mengajariku kebahagiaan didalam kesederhanaan. Bersama dua anak mereka Naya dan Nathan.
Awalnya aku berjumpa dengan Nathan saat dia mengantarkan Koran kerumah. Setiap pagi dia datang kerumahku. Sekedar ngobrol dan berbagi pengalaman. Dia anak yang special. Umurnya yang 2 tahun lebih tua dariku, membuat aku merasakan kehangatan seorang kakak. Dari rentetan namaku, dia memanggilku Izka. Walau Nathan tahu penyakitku, dia sama sekali tidak menghiraukannya.
Setelah beberapa lama kami kenal, Nathan mengenalkan adik perempuannya padaku. Namanya Naya. Seorang gadis manis. Kami sering bermain bersama. Jadilah kami 3 sahabat yang sangat kompak.
Aku sangat bahagia.

Halaman selanjutnya mengisahkan hal-hal yang Dira, Naya dan Nathan lakukan bertiga. Dari hal-hal kecil sampai yang istimewa. Dira menuliskannya dengan rapi. Tanpa satu kejadianpun yang terlewatkan. Naya tersenyum membacanya. Memori ingatannya melayang disaat mereka bertiga masih bersama. Banyak tawa dan canda yang tercipta.

28 Januari,
Kebodohan kulakukan. Hari ini aku menjadi seorang pembunuh. Aku membunuh seorang teman yang mengajariku kebahagiaan dan cinta. Aku membunuh kakak dari seseorang yang ku cintai. Dengan tanganku sendiri.
Aku tidak pantas hidup!! Aku pembunuh!!
Pagi itu aku berbicara dengan papa dan mama agar mereka membiarkanku memberikan motor yang baru mereka belikan pada Nathan. Aku tahu, sudah lama aku menginginkan motor itu. Namun Nathan lebih membutuhkannya. Agar dia tidak lagi naik sepeda untuk bekerja mengantar Koran dan susu setiap paginya.
Tapi mereka malah memarahiku karena bergaul dengan anak-anak dari kalangan bawah. Mereka melarangku menemui mereka lagi. Dua orang yang aku kagumi hingga kini. Aku menolak dan tetap ingin bersama mereka. Hingga akhirnya aku kabur dengan mengendarai motor itu. Aku tidak memperdulikan saran dokter untuk beristirahat total dirumah selama 1 minggu.
Aku hendak menemui Nathan. Tapi ditengah jalan, jantung ini kembali terasa nyeri. Sangat sakit. Aku tidak kuat lagi menahannya. Hingga tanpa ku sadari, aku menabrak seorang pengendara sepeda. Seketika itu ketidaksadaran menguasai diriku.
Ketika kesadaranku kembali, aku mengetahui sesuatu yang sangat mengejutkan. Pengendara sepeda yang kutabrak adalah Nathan. Sahabatku sendiri. Dan sekarang dia kritis disebelah ruanganku.
Tanpa perduli keadaanku sendiri, aku mencabut selang infuse yang bersarang dilengan kiriku serta alat pendeteksi jantung di dadaku. Aku berlari hendak menemui Nathan. Namun langkahku terhenti ketika melihat Naya menangis didepan ruang ICU bersama kedua orang tuanya. Tangisnya semakin menggema setelah dokter memberitahukan kenyataan terburuk.
Nathan meninggal. Tanpa aku sempat melihatnya. Tanpa aku sempat mengucapkan maaf.
Aku terduduk ditempatku. Dadaku sesak. Tidak dapat ku merasakan udara sore ini. Sakit, sangat sakit. Tanganku telah membunuh orang yang begitu berarti. Aku terus menangis tanpa ada isak yang terdengar. Air terus berproduksi dimataku.
Aku tidak pantas lagi hidup didunia ini!! Aku PEMBUNUH!!! PEMBUNUH!!!!

Air mata Naya kembali berproduksi. Siap turun kapan saja bendungan itu jebol. Dia baru mengetahui kejadian sebenarnya yang melatari kecelakaan itu. Kebencian selama bertahun-tahun yang sempat dia rasakan ternyata sia-sia.
Dira sama sekali tidak bersalah. Itu kecelakan. Tidak hanya keluarganya yang menjadi korban. Tapi juga hati dan jiwa Dira.
Naya merasa begitu egois.

Lembaran selanjutnya kembali terbuka.

Sebuah dokumen berada didepanku. Mengaharapan aku menggoreskan tinta diatasnya sebagai tanda persetujuan. Kedua orang tuaku terlihat sangat gembira. Mereka tidak merasa bersalah dan enggan sama sekali.
Ya, dokumen itu adalah surat persetujuan pendonoran Jantung untuk ku. Sudah bertahun-tahun aku dan orang tuaku menunggu berita menggembirakan ini. Namun nama sang pendonor diatas kertas itu membuat jantungku terasa semakin sakit.
‘JONATHAN ARZIVA’ Nama seseorang yang telah kubunuh. Nama sahabat yang mati ditanganku.
Kata dokter, sebelum meninggal Nathan berniat mendonorkan jantungnya padaku. Entah apa yang membuatnya ingin melakukan itu. Tapi yang jelas kebaikannya itu tidak pantas untukku. Aku bahagia ditengah kedukaan keluarganya? Aku tidak dapat melakukan itu.
Jantung itu tidak pantas untuk pembunuh sepertiku. Aku tidak mau menerimana. Sungguh tidak mau.
Aku ingin mati! Aku ingin mati menyusulnya!
Bagaimana aku harus menghadapi Naya dan keluarganya nanti? Mereka pasti akan langsung mengusirku. Mereka akan marah padaku. Aku tidak mau kehilangan keluarga yang telah memenuhi kebahagiaanku. Aku tidak mau!!!!
AKU TIDAK MAU MENERIMA JANTUNG ITU!!! TIDAK!!!

Naya tidak kuasa menahan laju air matanya. Dadanya terasa sesak kata demi kata yang dituliskan Dira. Ingin dia menutup agenda itu segera. Namun rasa penasarannya akan sosok Dira membuatnya membuka halaman selanjutnya.

Dimana aku? Tempat ini seperti rumah sakit. Tapi tidak satu bendapun yang ku kenal.  Sudah berapa lama aku tertidur? Aku tidak ingat apapun.
Malam itu dadaku kembali terasa sakit. Aku berusaha memanggil suster. Namun tubuhku terjatuh dan semuanya menjadi gelap.
Ternyata aku ada di Singapura. Sudah hampir satu bulan aku koma. Papa dan Mama membawaku kesini untuk menjalani operasi pemasangan jantung buatan yang menggantikan jantungku yang tidak dapat lagi bekerja dengan baik.
Sudah selemah itukah aku? Padahal masih ada 5 tahun waktu yang diberikan dokter padaku.
Aku sungguh lelah. Kedua lenganku sudah penuh oleh bekas jarum suntik dan infuse yang menusuk kulitku dan memaksanya menerobos aliran darahku. Tidak terhitung jumlahnya.
Aku tahu tidak ada yang sempurna. Termasuk aku. Jadi biarlah Tuhan yang menentukan nasibku ini. Entah apakah aku masih bisa bertemu dengan Naya sebelum kematian menghampiri.
Aku berharap kelopak bunga aster yang ku terbangkan dapat menyamaikan perasaanku padanya.
Aku mencintaimu, Naya!!!

Naya tersenyum membaca kalimat terakhir yang tertulis dihalaman itu. Tiga kata yang paling dia sukai didunia ini. Kini dia tahu kemana Izka saat tiba-tiba menghilang dulu.
Dia kembali membuka halaman selanjutnya. Tidak ada tulisan disana. Hanya sebuah foto tua. Terabadikan 3 sosok anak-anak yang sedang tertawa senang. Dua anak laki-laki yang menghimpit seorang gadis manis.

Saat itu malam tahun baru. Naya, Dira dan Nathan pergi menghabiskan waktu dipasar malam. Meresa merasa bahagia saat itu. Tawa tidak pernah lepas dari bibir mereka. Sebenarnya Dira tidak boleh keluar rumah malam-malam karena udara malam tidak baik untuk jantungnya. Namun dengan ngeyelnya dia tetap pergi bersama mereka. Suster yang biasa merawatnya terpaksa ikut. Dira merasa risih karena dibuntuti kemanapun dia pergi.

Muncul ide jahil diotak Nathan untuk mengerjai suster itu. Mereka berpura-pura menaiki bianglala. Dengan jahilnya mereka meminta suster itu naik duluan. Saat bianglala mulai berputar, mereka tidak ikut naik. Tapi malah berlari menjauh dan membiarkan suster itu sendirian.

Dengan begitu beberapa saat mereka bisa bebas. Nathan mengajak Naya dan Dira duduk dibawah pohon. Dari sana mereka dapat melihat kembang api yang akan dinyalakan saat pergantian tahun nanti. Tidak lama menanti, kembang api meletus ria dilangit malam.

“Kita foto bareng yuk!! Buat kenang-kenangan!!” seru Dira sambil mengeluarkan Foto Digitalnya dari kantong jaket. Dengan berbagai fose masing-masing, terciptalah foto mereka bertiga yang tengah tersenyum senang.

Kembali sebuah senyuman mengembang dibibir Naya. Latarnya kembang api yang bertebaran dilangit malam. Masih teringat jelas kapan foto itu diambil. Keceriaannya masih terasa hingga kini.
Naya membuka lembar selanjutnya.
Kosong!!
Kosong!!
Kosong!!
Tidak ada tulisan sama sekali dibeberapa lembar selanjutnya.
Naya menutup buku agenda itu. Saat hendak meletakannya didalam tas, subuah foto keluar dari sela jepitan buku. Dia kembali membuka agenda dan mencari darimana foto itu terselip.

Dihalaman kesekian, terdapat foto Naya saat memakai atribut MOS sedang duduk sendiri dibawah pohon tempat pertama mereka kembali bertemu. Naya teringat saat itu dia sedang menunggu Dira.

Ku temukan lagi senyum yang sempat hilang

Halaman selanjutnya, kembali sebuah foto Naya saat termenung didalam kelas. Entah kapan dia mengambilnya.

Hanya dapat ku pandangi. Dia tidak mengenaliku. Biarlah seperti ini. Diujung hidupku, aku bahagia bisa melihatnya lagi.

Halaman berikutnya, foto Naya bersama Dira setelah mereka resmi berpacaran. Foto itu diambil saat mereka berada ditaman Bunga Aster.

Ku tak ingin menggenggamnya. Ku tak ingin memeluknya.
Tapi hati ini terlalu menguasai diriku untuk memelikinya.
Walau hanya sekejab, perasaan ini ingin sebentar saja merasakan kehangatannya.

Naya terdiam sejenak. Menghirup udara segar disekelilingnya. Menenangkan hati dan perasaannya agar tetap kuat membuka halaman demi halaman agenda Dira.

Hari ini terasa sangat berat,
Sesak dan sakit itu tanpa henti mendatangiku
Melucuti tulang dan kulitku tanpa henti
Membuat tubuh lemah ini tidak berdaya

Lembar selanjutnya kembali terbuka. Sebuah rangkaian kata tertulis dengan indah disana.

Kau datang bagai hujan disaat kemarau
Kau ada bagai pelangi selepas hujan
Kau hidup bagai bunga ditengah ilalang
Dan kau hadir bagai anugrah terindah dalam hidupku

Beberapa lembar berikutnya tertulis banyak nama Naya disana.
Naya,
Satu ada kata yang membuatku bahagia
Naya,
Satu ada kata yang membuatku sakit
Naya,
Satu ada kata yang membuatku berharap
Naya,                 
Satu ada kata yang membuatku pergi

---

Naya membuka halaman terakhir didalam buku agenda itu. Sebuah ungkapan indah tertulis disana.

Izka CINTA Naya, Selamanya…..

Tanpa terasa butiran hangat jatuh membasahi pipinya. Rasa sesak itu kembali datang, berbaur bersama sesal yang belum juga memudar. Andai dia mempercayai cinta Dira, andai dia bisa menerima Dira lebih cepat. Semuanya pasti akan lebih baik.

Selama ini belum pernah dia mendengar kata cinta dari mulut Dira. Langsung dari mulutnya, tanpa media tulis atau apapun.

Dihalaman terakhir itu, ada sebuah surat untuk Naya. Perlahan Naya membuka dan membacanya.

Aku tidak dapat melarikan diri lagi, sungguh tidak ingin,
Jika aku tidak tercipta untukmu, kenapa hati ini memilih mu?
Jika aku bukan milikmu, kenapa hatimu selalu memanggilku?
Jika aku tidak membutuhkanmu, kenapa namamu selalu menggema di kepalaku?
Jika aku tidak untukmu, kenapa aku selolah hidup selamanya bersamamu?

Aku tidak tahu kenapa rasa ini ada
Tapi aku tahu kalau ini benar
Karena aku mencintaimu
Entah itu salah atau benar
Yang pasti aku mencintaimu seumur hidupku

Mencintaimu… adalah seluruh cinta dalam hatiku
Mencintaimu… adalah segala rasa yang kumiliki
Mencintaimu… adalah seluruh sakit yang menguasai jantungku
Mencintaimu… adalah anugerah terindah dalam hidupku

Rasa ini memaksaku untuk bernafas
Membuat jatungku terus berdetak
Dan memercepat waktu ku berpijak

Tapi ada kala harap tiada
Dan asa tiba, tidak boleh kah manusia menyerah
Akan takdir dan kehendak Yang Kuasa

Walaupun cinta, rasa dan jiwa ingin tetap tinggal
Walau raga tetap selalu didekapannya

Di kala tak ada lagi yang tersisa untukku
Selain kenangan-kenangan yang indah bersamamu
Jauh meninggalkan ku

Cintamu tidak akan bisa membebaskanku
Takdir Tuhan lah yang selalu berkuasa

Tersenyumlah bersama guguran kelopak bunga aster,
Saat kau mengingatku
Menangislah bersama angin musim panas,
Ketika kau merindukanku

Cintaku akan tetap tinggal dihatimu
Hingga akhir hayat hiduku, saat akhir hirup nafasku
Dan setelah kematian menyapa
Hingga hanya tangan Tuhan lah yang akan menyatukan kita lagi….

-Raizkadira Andrianto-

Naya melipat kembali surat itu dan memasukkannya kedalam amplop. Bulir air mata tidak dapat lagi terbendung dikolapak matanya. Semuanya tumpah tanpa terkendali.
Dia terdiam sejenak. Berusaha menenangkan hati dan perasaannya.

Sesungguhnya dia rindu. Sangat rindu pada sosok Dira. Saat dia tertawa, saat dia marah, dan saat sifat dinginnya datang. Dira yang selalu tak acuh papanya, seolah tidak menginginkan kehadiranya. Dira yang dapat membuatnya nyaman walau hanya dengan memandangnya. Dira yang membuat air matanya terus mengalir saat mengingatnya.
Naya menghirup nafas dan membuangnya. Memantabkan hati untuk menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Untuk mengingat Dira, bersama kelopak-kelopak bunga Aster yang diterbangkan oleh angin sore.

Dia tidak menyesal mencintai Dira. Menjadikan sosok rapuh itu penguasa tunggal hatinya.

Setelah ini pasti akan lebih berat. Tidak hanya 2 tahun saja. Tapi tahun-tahun selanjutnya akan dia jalani tanpa sosok Dira. Akan ada banyak air mata yang tercurah. Bersama rasa rindu yang mencekat jiwa.

Namun, Naya sama sekali tidak menyesal. Bertemu dan mencintai Dira adalah hal terindah dalam hidupnya. Dan dengan senyuman, dia akan mengingat Dira.
“Nay!!”
Naya tersadar dari lamunannya dan menoleh. Dia melihat Izal berlari kecil mendekatinya.
“Ketempat Dira yuk!!” ajaknya. “Udah selesaikan?”

Naya mengangguk dengan senyum yang masih mengembang dibibirnya. Kemudian dia bangkit mengikuti Izal yang berjalan mendahuluinya. 

Dira, adalah masa laluku
Yang mengajariku tentang cinta dan kebahagiaan
Dira, adalah masa indahku kini
Yang selalu membuatku semangat saat mengenangnya
Dira, adalah masa depanku
Yang membuatku termotifasi dan terus berharap